CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Kamis, 11 Desember 2008

Liverpool's Honours

* League

Winners (18, record): 1900–01, 1905–06, 1921–22, 1922–23, 1946–47, 1963–64, 1965–66, 1972–73, 1975–76, 1976–77, 1978–79, 1979–80, 1981–82, 1982–83, 1983–84, 1985–86, 1987–88, 1989–90
Runners-up (11): 1898–89, 1909–10, 1968–69, 1973–74, 1974–75, 1977–78, 1984–85, 1986–87, 1988–89, 1990–91, 2001–02

* Division Two (Level 2)

Winners (4): 1893–94, 1895–96, 1904–05, 1961–62

* Lancashire League

Winners (1): 1892–93

Cups

* FA Cup

Winners (7): 1965, 1974, 1986, 1989, 1992, 2001, 2006
Runners-up (6): 1914, 1950, 1971, 1977, 1988, 1996

* League Cup

Winners (7, record): 1981, 1982, 1983, 1984, 1995, 2001, 2003
Runners-up (3): 1978, 1987, 2005

* Community Shield

Winners (15): 1964 (shared), 1965 (shared), 1966, 1974, 1976, 1977 (shared), 1979, 1980, 1982, 1986 (shared), 1988, 1989, 1990 (shared), 2001, 2006 (10 outright, 5 shared)
Runners-up (6): 1922, 1971, 1983, 1984, 1992, 2002

* Screen Sport Super Cup

Winners (1): 1986

International

* European Cup and UEFA Champions League

Winners (5, English record): 1977, 1978, 1981, 1984, 2005
Runners-up (2): 1985, 2007

* UEFA Cup

Winners (3, joint-record): 1973, 1976, 2001

* UEFA Super Cup

Winners (3): 1977, 2001, 2005
Runners-up (2): 1978, 1984

* UEFA Cup Winners' Cup

Runners-up (1): 1966

* Intercontinental Cup and Club World Cup

Runners-up (3): 1981, 1984, 2005

Sabtu, 29 November 2008

PROFIL STEVEN GERARD

Steven George Gerrard (lahir di Whiston, Inggris, 30 Mei 1980; umur 28 tahun) adalah seorang pemain sepak bola asal Inggris. Pria beringgi tubuh 188 cm ini bermain di Liverpool F.C. sejak tahun 1997 (meskipun debut profesionalnya baru terjadi pada 19 November 1998) sebagai pemain pengganti Vegard Heggem pada babak kedua saat liverpool bertanding melawan Blackburn Rovers.
Gerrard mulai bermain bersama tim lokal, Whiston Juniors. Dia mendapat perrhatian dari pencari bakat Liverpool dan bergabung dengan akademi junior the Reds saat usianya 9 tahun. Dia hanya bermain dalam beberapa pertandingan, karena perkembangannya yang lambat membuat dia hana bermain dalam 20 pertandingan saat berusia 14 hingga 16. Diusia 14, Gerrard memperoleh kesempatan bertanding dengan beberapa klub, termasuk Manchester United. Dalam autobiografinya, dia mengatakan "untuk menekan Liverpool agar memberi saya YTS kontrak." selama masa tersebut dia sempat mengalami kecelakaan yang disebabkan garpu taman yang berkarat yang dapat menyebabkan dia kehilangan jari kakinya. Gerrard menandatangani kontrak profesional pertamanya bersama Liverpool pada 5 November 1997.
Walaupun ia berposisi sebagai gelandang di klub sepak bola tersebut, sebenarnya ia dapat bermain di posisi mana saja seperti penyerang, gelandang ataupun bek. Bisa dibilang pemain ini berposisi serba bisa kecuali posisi kiper sepertinya halnya legenda sepak bola Irlandia Utara dan Manchester United yaitu George Best.
Di klub berjuluk The Reds ini, Gerrard mengenakan nomor punggung 8 sekaligus memegang ban kapten. Bersama Xabi Alonso, Jamie Carragher, dan Sami Hyypia ia telah menyumbangkan beberapa gelar juara untuk klub dari kota pelabuhan tersebut. Ia juga sangat disegani oleh penggemar-penggemar klub yang bermarkas di stadion Anfield tersebut, rekan-rekan setim di klub maupun timnas Inggris serta masyarakat Inggris secara keseluruhan. Tahun 2006 ia terpilih sebagai pemain terbaik di Inggris oleh Asosiasi Pesepak Bola Profesional Inggris (PFA).
Di tim nasional sepak bola Inggris ia memulai debutnya pada tahun 2000 dan hingga saat ini telah tampil sebanyak 67 kali dan mencetak 13 gol.
Steven Gerrard memiliki 2 orang anak perempuan bernama Lily Ella dan Lexie. Ia juga telah menikah dengan seorang wanita bernama Alex Curran pada musim panas 2007.
PERJALANAN KARIER GERARD

1998-1999: Musim Pertama
Gerrard membuat debutnya bersama tim utama Liverpool pada 29 November 1998 di babak kedua menggantikan Vegard Heggem saat berhadapan dengan Blackburn Rovers, dan penampilan pertamanya sebagai starter terjadi dalam Piala UEFA melawan Celta Vigo.[3] Sebagai penganti dari Jamie Redknapp yang cedera, Gerrard bermain dalam 13 pertandingan untuk Liverpool pada musim tersebut.
1999-2000: Tim Utama
Pada musim 1999-2000 manajer Gérard Houllier menempatkan Gerrard berpasangan dengan Jamie Redknapp sebagai gelandang tengah. Setelah menjadi starter dalam 6 pertandingan awal, Gerrard diturunkan ke dalam bangku cadangan saat derby lokal melawant Everton.[2] Gerrard menggantikan Robbie Fowler pada menit ke 66 namun kemudian dikeluarkan setelah menerima kartu merah pertama dalam karirnya karena pelanggaran terhadap pemain Everton Kevin Campbell di menit ke 90.[4] Di musim tersebut, Gerrard mencetak gol pertamanya untuk tim senior saat menang 4–1 atas Sheffield Wednesday.[1]
Tulang belakangnya sering mengalami masalah. Pada saat itu, banyak wartawan mengabarkan rumor, sehingga fans sempat menduga bahwa mereka tidak akan pernah melihat Gerrard menyelesaikan kompetisi. Namun, manajer Gerard Houllier segera mengambil langkah yang berguna serta membayar spesialis untuk mengatasi masalahnya.list help. Setelah bekonsultasi dengan konsultan olah raga (kesehatan) Hans-Wilhelm Müller-Wohlfarth,[2] didiagnosisi bahwa masalah Gerrard disebabkan oleh pertumbuhan yang telalu cepat pada tulang belakangnya.[2] Setelah menjalani perawatan dan Liverpool F.C. memastikan bahwa masalah ini tidak akan muncul kembali. Namun kemudian Gerrard mengalami masalah di selangkangannya, dan membutuhkan empat kali operasi untuk mengatasi masalah ini.[2] Kemudian dia pergi ke seorang spesialis asal Perancis untuk mengatasi masalah dengan cederanya, yang diakibatkan pertumbuhan yang terlalu cepat dan terlalu sering bermain bola saat kecil.[5]
2000-01: The "treble" season
2000-01 brought Gerrard his first trophy successes: he put his injury problems behind him and made 50 first team appearances, scoring 10 goals, as Liverpool won the League Cup and FA Cup. On 31 March 2000 Gerrard scored a goal from 25 yards which was the first in a 2-0 victory over Manchester United at Anfield. This was voted by fans as Liverpool's best ever Premier League goal. In the UEFA Cup final against Alavés, Gerrard scored his first major final goal as Liverpool won 5-4. At the end of the season Gerrard was named PFA Young Player of the Year.[rujukan?]
2001-02: Growing influence
Di musim "treble" 2001, Gerrard meningkat menjadi pemain yang berpengaruh di tim Liverpool dimana dia menjadi semakin matang dan permasalah dan dengan cederanya semakin berkurang. Dia menjadi bagian penting saat Liverpool bertanding dalam musim kompetisi 2001-2002 dimana dalam klansemen akhir, Liverpool menempati peringkat kedua dengan raihan nilai terbanyak dalam satu dekade terakhir. Selama musim tersebut, Houllier mengalami masalah dengan kesehatan jantung yang mengharuskannya untuk menjalani operasi. Pada saat Liverpool diprediksi untuk kembali berkibar dalam pesepakbolaan Inggris, namun setelah Houllier sakit, Liverpool mengalami kemerosotan. Penampilan tim kembali meningkat setelah Gerrard dan Michael Owen menjadi bintang yang menjadi inspirator untuk meraih kemenangan.
Gelar
Bersama Liverpool
• 2006-07 Runners-up Liga Champions
• 2005-06 Piala FA
• 2004-05 Juara Liga Champions
• 2002-03 Juara Piala Liga
• 2001-02 Piala Super Eropa
• 2001-02 Charity Shield
• 2000-01 Piala UEFA
• 2000-01 Piala FA
• 2000-01 Piala Liga

Kamis, 27 November 2008

Pebola Muslim di Eropa

Sejak musim lalu, Susana jelang kick off pada setiap laga Bayern Muenchen menjadi lebih special. Nuansa religius lebihkentara dengan ritus yang dilakukan bunting baru mereka, Franck Riberry. Menundukan kepala sambil menengahdakan tangan, mulut pemain bertubuh mungil itu komat-kamit memanjatkan doa ke hadirat Allah SWT. Ritus itu agk provokativ mengingat sensivitasorang-orang Eropa terhadap segala sesuatu yang berbau Islam. Tapi ribery tak peduli, baginya keimanan memang harus ditunjukan. Bukan itu saja, dia pun selalu menjauhi minuman beralkohol dan daging babi yeng memang diharamkan Al Quran.
Mengenai hal yang terakhir , Ribery membuktikan dirinya bias bertahan meski tinggal di Muenchen, ibu kota bir di Jerman. Saat perayaan juara pada akhir musim lalu,dia dengan tegas berkata, “Aku tak akan membuat pengecualian dengan menyeruput bir. Jika ada bir tanpa alcohol, aku mungkin akan meminumnya. Aku tak butuh alcohol untuk menunjukan suka cita.”
Pada musim ini pun, dia tak ikut memegang segelas bir pada sesi pemotretan iklan Paulaner yang melibatkan skuad Bayern Muenchen. Dengan lugas dan kocak, dia tetap bergeming meski Luca Toni tak henti menggoda dengan menyodorkan gelas bir yang ada digenggamannya.
Di kancah sepak bola Eropa, Ribery hanyalah satu dari sederet pebola muslim yang taat. Beberapa pemain yang juga sangat kukuh memegang syriat adalah Kolo Toure, Yaya Toure, Frederic Knoute, Eric Abidal, Nathan Ellington, dan Mohammed Sissoko. Merka adalah sosok-sosok yang sangat taat beribadah di tengah Impitan kesulitan.
Sebagai muslim mereka tak main-main dalam menjalankan ajaran agama. Kolo Toure, Ellington, dan Sissoko dikenal taat menjalankan salt di mana pun mereka berada. Bahkan, Kolo dan Ellington tak ragu menjalankan ibadah lima waktu di ruang ganti pemain. Mereka tak malu-malu membawa sajadah. Bagi Sissoko menjalankan salat sangat penting bagi hidupnya. “Aku terbiasa menunaikan salat sebelum dan sesudah pertandingan,” kata pemain asal Mali yang kini memperkuat Juventus tersebut. “Aku sangat bahagia ketika salat karena aku merasa melakukan kontak langsung dengan Tuhan. Sungguh itu membuatku kian percaya bahwa ada yang mengawasiku dari atas.”
Soal salat Sissoko memang boleh diacungi jempol. Selain taat dia juga selalu mencoba menunaikannya di masjid atau mushala terdekat. Kala memperkuat Liverpool dia kerap kedapatan berada di masjid Ar Rahma. Apalagi kala Ramadhan, maklum saja dia selalu bertarawih di sana. Ngomong-ngomong soal Ramadhan Sissoko juga terbilang taat puasa. Meski sulit menunaikan ibadah tersebut di tengah tuntutan pekerjaan yang menguras fisik, dia mengaku tak pernah secara sengaja mengabaikannya. “Aku tetap berusaha untuk puasa pada bulan Ramadhan. Hanya pada situasi mendesaklah aku rak menunaikannya,” ungkap Sissoko.
Pemain lain yang memegang prinsip sama dengan Sissoko adalah Kanoute dan Ahmed Mido. “Siapa pun yang paham tentang Islam dengan benar pasti justru menguatkan, bukan melemahkan,” ungkap Kanoute yang juga sempat menutup logo 888.com di kostum Sevilla yang dipakainya karena tak mau mendukung perjudian.
Mido mengamini, “Aku tak pernah bermasah dengan Ramadan di mana pun aku bermain. Tak seperti yang dibayangkan kebanyakan orang Inggris, tubuh kita sebenarnya bias langsung beradaptasi hanya setelah beberapa hari barpuasa.” Ucap penyerang asal mesir tersebut.
Ketaatan Mido cs yang tak bergeming meski harus berhadapan dengan kultur dan lingkungan yang sangat berbeda jelas menjadi teladan bagi semua muslim. Dalam situasi dan kondisi apapun keimanan dan ktakwaan tak boleh tergadaikan!!!

Jumat, 21 November 2008

Playmaker di Liverpool

Pada hakikatnya sepak bola adalah permainan yang rumit. Tapi sepak bola sebenarnya sebuah permainan yang penuh dengan kegembiraan. Sebuah tim, layaknya seperti sebuah mata rantai yang tak pernah terputus, rotasi posisi, baik saat menguasai bola maupun ketika bergerak tanpa bola, semuanya harus tetap menuju ke satu titik fokus, tanpa pernah kehilangan konsentrasi, pemahaman akan posisi teman, maupun pemahaman tentang karakter teman satu tim. Bola harus terus mengalir, seperti air yang tanpa henti, seperti alunan musik yang terus menggema, dawai demi dawai terpaut, menjalin sebuah ritme yang menghanyutkan, membuai keindahan lapangan hijau. Tapi disaat yang sama kita tak boleh berhenti untuk bergerak. Kita harus mampu sebagai pelayan, tapi di sisi lain kita bisa meminta untuk dilayani. Kolektifitas dan saling pengertian yang akurat seperti itu harus dilakukan sebuah tim sepanjang 90 menit. Bukankah permainan ini menjadi demikian rumit? Tapi, walau demikian, sepak bola pada dasarnya adalah sebuah permainan yang penuh kegembiraan, karena sepak bola tak jauh berbeda dengan sebuah pagelaran orchestra, ada komando yang mampu mengatur tinggi dan rendahnya nada, ada yang bertanggung jawab untuk mampu merubah dari satu pola ke pola lainnya, tanpa pernah kehilangan ritme, ada perjuangan, ada keuletan manusia di dalamnya untuk mempertahankan integritas pribadi, memperjuangakan harkat sebuah tim, serta rasa bangga dan kehormatan. Itulah sebabnya sepak bola sampai sedemikian memesona manusia.

Memahami uraian singkat di atas, ada satu kunci yang memang menjadi titik sentral permainan, yaitu adanya seorang yang memegang kendali permainan secara cerdas. Itulah yang sering kita sebut dengan istilah “playmaker”.

Memahami sebuah tim besar seperti Liverpool, pasti kita harus mengerti rangkaian panjang perjalanan sejarah tim ini. Tulisan ini hendak mengurai secara garis besar peran playmaker dalam kedigjayaan Liverpool dimasa lalu. Banyak suara-suara dari berbagai media yang kita baca mengetengahkan tidak adanya seorang playmaker di tubuh Liverpool saat ini yang membuat perjalanan tim dengan julukan The Reds ini tersendat-sendat, bahkan selama satu dekade terakhir tim besar di Inggeris ini tak pernah lagi merengkuh gelar juara Liga Inggeris.

Mengurai awal kedigjayaan Liverpool, kita mulai dari sebuah Revolusi besar yang dilakukan oleh Bill Shankly. Bill inilah yang menjadi peletak dasar dari skema permainan menawan Liverpool sepanjang sejarah di Liga Inggeris. Hal pertama yang Bill lakukan di musim panas tahun 1961 adalah membawa Liverpool naik kembali ke divisi satu, kemudian Bill membeli dua orang pemain, yaitu seorang striker Ian St.John dan seorang central defender Ron Yeats, keduanya berasal dari Skotlandia. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dasar skema sepak bola Bill adalah adanya seorang pemain yang mampu menggalang semua pola permainan di lapangan, dan tugas ini saat itu dipikul secara sistematis oleh Ron Yeats. Jika Ron berhalangan main, maka Ian Callaghan yang mengambil alih tugas tersebut. Ron maupun Ian Callaghan memang pemain yang memiliki determinasi luar biasa. Tidak heran jika Ian St.John dan Roger Hunt sebagai duet striker saat itu tinggal menyelesaikan bola-bola matang dari Ron maupun Ian. Skema dasar dari pola yang dikembangkan oleh Bill adalah pola “pass and move”. Pola ini meninggalkan corak permainan sepak bola Inggeris “kick and rush”. Pola pass and move ini diimplementasikan dalam suatu skema yang disebut dengan “five-a-side”, dimana pergerakan pemain dan bola secara simultan memiliki lima titik penting: bek sayap kanan dan kiri berfungsi juga sebagai penyerang sayap saat menyerang dan bertahan saat tim kehilangan bola, kemudian satu titik lainnya di central defender, titik lainnya di posisi striker, yang keempat titik ini diolah dan dikreasikan secara simultan oleh seorang pemain jangkar di tengah lapangan, dialah sang “playmaker”. Dari perkembangan selanjutnya, peran playmaker ini sangat vital. Selama satu dekade tahun 60-an itu Liverpool telah membuktikan bahwa peran playmaker merupakan peran yang besar yang menterjemahkan skema permainan di lapangan. Hal ini memang didasari oleh metode yang dikembangkan oleh Bill yang sangat membutuhkan seorang pemain yang mampu menjadi dirigent. Pola pass and move yang disinergikan dalam bentuk five-a-side tersebut harus dijalankan dengan komando seorang playmaker. Revolusi Bill ini sangat berhasil, dan itulah sebabnya Liverpool menjadi sangat terkenal sebagai tim pertama di daratan Inggeris yang berani meninggalkan pola Kick and Rush yang terkesan membosankan itu. Dalam pola kick and rush memang peran playmaker sangat kecil, karena system dimana bola dari lini pertahanan langsung mengarah ke depan dimana striker telah menunggu, di sisi lain, dengan pola yang demikian sangat diharapkan terjadinya suatu scrimmage di depan gawang lawan. Sehingga barisan gelandang hanya sangat berfungsi menjadi barisan pertama menghempang serangan lawan. Di pola yang dikembangkan Bill tersebut, dapat pula digambarkan adanya seorang creator yang mampu mengolah bola lebih lama, dan sedapat mungkin untuk tidak terlalu cepat kehilangan bola.

Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Bill pensiun tahun 1974, datanglah sebagai pengganti si legenda lainnya dari Anfield yaitu Bob Paisley. Bob ini juga tetap mempertahankan doktrin pass and move milik Bill, bahkan ditangan Bob, Liverpool sangat jauh melesat di Liga Inggeris maupun Eropa. Hal ini juga karena kelebihan Bob sebagai manajer yang memiliki kecerdasan luar biasa dalam me-manage pemain, baik di dalam maupun di luar lapangan. Bahkan Bob mampu menjadi seorang motivator yang jenius saat menemani para pemainnya yang sedang dalam perawatan saat cedera. Pada era Bob ini yang jadi playmaker adalah King Kevin Keegan, dan barang tentu kita tahu semua siapa orang ini. Saat Keegan pindah ke Hamburg di Bundesliga, yang memikul tugas playmaker di lapangan tengah Liverpool adalah King Kenny Dalglish. Di komunitas fans Liverpool, Keegan dan Dalglish memang diasosiasikan sebagai raja atau ‘King’ . Talenta lain yang menghiasi lapangan tengah Liverpool masa itu adalah Souness, Alan Hansen, Terry Mc Dermott, dan lain-lain. Skema Bob waktu itu adalah Neal di kanan, Kennedy di kiri, Alan Hansen central defender, dan Rush di depan, dan Dalglish yang jadi dirigent dari orchestra ini. Dalam kenyataannya memang pola yang dikembangkan Bill dan Bob ini sangat membutuhkan pemain bertalenta tinggi. Masa itu Liverpool bisa memenuhi persyaratan yang demikian, secara regenerasi pemain yang keluar dan masuk semua memiliki kualitas yang mampu menterjemahkan skema pass and move tersebut.

Bahkan ketika Bob juga pensiun, Joe Fagan yang memegang Liverpool tahun 1983-1985 dan juga Kenny Dalglish sebagai pengganti untuk waktu selanjutnya tahun 1985-1991 -yang juga merangkap sebagai pemain waktu itu- tetap mampu menguraikan doktrin tersebut, dan sepertinya saat itu Liverpool tak pernah kehabisan pemain yang bertalenta bagus.

Kalau kita runut sejarah dari Revolusi Bill tahun 1959 dan kemudian Liverpool masuk divisi satu tahun 1961 sampai ketika King Kenny mengakhiri masa jabatannya tahun 1991, Liverpool selama tiga dekade itu mampu merajai Liga Inggeris dan Eropa dengan prestasi yang sangat menakjubkan. Dan dari setiap kepemimpinan yang kita kemukakan di atas tadi, selalu saja ada peran besar pemain yang mampu menjadi “leader” sekaligus pemegang kendali permainan secara menyeluruh, sehingga pola menyerang dan bertahan sama bagusnya.

Kenyataan sejarah yang dikemukakan di atas dapat memberikan gambaran kepada kita, bahwa pada hakikatnya walaupun permainan sepak bola itu berkembang dan terjadi perubahan pola dan gaya, namun jika Liverpool masih menerapkan pola pass and move dengan mensinergikan metode five-a-side, maka pola itu masih bisa mengimbangi tim-tim lain saat ini, Liverpool akan tetap memiliki kekuatan yang sulit diimbangi tim lain. Namun hal tersebut juga membutuhkan adanya seorang playmaker.

Sejak Dalglish mundur sebagai pemain yang merangkap sebagai manajer tahun 1991, Graeme Souness yang merupakan pemain produk dari Bob Paisley, duduk sebagai manajer menggantikan Dalglish. Tapi The Reds ternyata tak lagi mampu meneruskan sejarah kedigjayaannya. Materi pemain yang masih dihuni Peter Berdsley dan John Barnes kurang mampu mendukung pola yang telah sekian lama dianut para legenda Liverpool. Souness hanya bertahan sampai tahun 1994, dan setelah mundur datanglah Roy Evans, tapi juga gagal membawa The Reds berdiri sejajar dengan Manchester United dan Arsenal yang mulai menguasai Liga Primer Inggeris. Sampai akhirnya muncul manajer yang waktu itu sempat menghebohkan Anfield, karena Gerard Houllier yang ditunjuk menjadi Manajer justru bukanlah produk Liverpool. Liverpool dalam hal ini juga merubah sejarah perjalanannya sendiri dalam hal penunjukan manajer.

Gerard Houllier sebenarnya bukanlah pelatih kelas kacangan, frenchman ini memiliki kecerdasan yang sangat baik, namun ada hal yang diterapkan olehnya, yaitu dalam sebuah tim -menurutnya- kita tidak boleh tergantung pada seseorang. Playmaker tidak dibutuhkan dalam tim saya, demikian ujarnya dalam suatu kesempatan.

Perjalanan tim Anfield ini pun tersendat-sendat, bahkan sulit dibayangkan tim sebesar Liverpool hanya untuk masuk 4 besar di Liga Primer Inggeris pun sepertinya sangat sulit. Komposisi pemain yang dimiliki Houllier sebenarnya sangat bagus. Pemain cemerlang seperti Owen, Hamman, Heskey, Steven Gerard, dan terakhir hadirnya Kewell, ternyata juga tidak mampu mengangkat Liverpool kembali ke jalur juara.
Houllier memang mengingkari sejarah perjalanan Liverpool. Puluhan tahun kiprah Liverpool di Liga Inggeris selalu melahirkan pemain-pemain besar di daratan Inggeris, terutama pemain-pemain yang mampu menjadi roh, menjadi jiwa dari permainan tim. Playmaker yang cemerlang telah banyak lahir dari rahim Liverpool, tapi saat ini organisasi permainan tim sangat mudah terbaca.

Talenta besar yang dimiliki Owen hanya dibentuk Houllier sebagai pemain yang mengandalkan sprint dengan bola-bola diagonal yang dirancang oleh Steven Gerard dari lapangan tengah. Namun pola ini akhirnya mudah terbaca oleh tim lain, itu sebabnya kemampuan Owen mencetak gol mulai menurun drastis. Padahal Owen merupakan penyerang yang memiliki kemampuan yang cukup lengkap. Kecepatannya merupakan yang terbaik di Inggeris. Hanya Giggs dari MU yang mampu mengimbangi kecepatan pemain ini. Dribel bolanya baik sekali, serta pemain bertubuh agak kecil untuk ukuran orang eropa ini berani melakukan body charge. Sungguh ulet sebenarnya pemain ini.

Ironi yang terjadi pada Gerard Houllier pernah terjadi pada tahun 2001. Saat itu Gary Mc Allister yang bermain hanya semusim di Liverpool justru mampu menempatkan dirinya menjadi seorang playmaker, walau usia pemain yang akrab dipanggil “macca” ini sudah melebihi 35 tahun waktu itu tapi justru mampu menghadirkan prestasi bagus.

Walaupun Liverpool belum bisa meraih juara Liga Inggeris, tapi paling tidak prestasi menjuarai Piala Liga, Piala FA, dan Piala UEFA, Charity Shield, merupakan perolehan yang luar biasa, mengingat selama satu dekade Liverpool seperti tertidur pulas. Memang prestasi itu bukan semata peran Macca, tapi dengan adanya peran playmaker, tim ini mampu meramu pola pass and move milik Bill.

Satu musim terakhir Houllier pada akhirnya juga melakukan perubahan mendasar. Bisa jadi hal ini disebabkan adanya kritik dan umpatan dari para fans Liverpool di seluruh dunia. Perubahan itu adalah diberikannya kebebasan kepada Steven Gerard untuk menjelajahi semua sisi lapangan. Gerard menjadi roh permainan, gaya mainnya yang sangat elegan, membuat Gerard sangat menikmati peran besarnya ini, bahkan kini dia menjadi kapten tim. Gerard menterjemahkan peran seorang playmaker, dia petarung sejati. Tendangan kaki kanannya amat keras, umpan panjangnya yang sangat terukur membuat Gerard menjadi pemain terbaik di Inggeris dengan umpan terukur dari jarak 20 meter.

Dalam dua musim terakhir ketika Houllier menyerahkan kursi manager kepada Rafael Benitez, peran Steven Gerard semakin menakjubkan, lapangan tengah Liverpool menjelma menjadi salah satu yang terbaik di EPL. Formasi lima sudut posisi dimainkan dengan baik sekali oleh para pemain The Reds, central lini belakang oleh Carragher, sayap kanan oleh Garcia, sayap kiri oleh Riise/Kewell, striker oleh Baros (musim 2004/2005) maupun oleh Crouch di musim ini. Lingkaran ini dikomandoi oleh dirigent paling fenomenal saat ini yaitu Steven Gerard, semua titik permainan disetiap sudut lapangan menjadi aliran air yang tanpa pernah putus mengalir, yang dengan elegan diatur sedemikian rupa oleh Steven Gerard. Ditangan Rafa, Gerard memang benar-benar menjelma menjadi Dalglish dimasa Bob Paisley, atau Ian Callaghan dimasa Bill Shankly.
Adakah semua lintasan sejarah ini menjadi mata rantai yang tersambung? saya tidak berani menjawabnya, namun kenyataannya, apa yang pernah terlahir dari ide revolusinya Bill Shankly dan Bob Paisley, kini muncul kembali dalam kemasan yang lebih manis, lebih passion, dan tentunya lebih bergairah. Dalam keheningan disudut Anfield, bisa jadi, Rafael Benitez belajar tentang Bill dan Bob, sebuah pelajaran yang tak pernah difahami oleh seorang Houllier. Entahlah..!

Semoga tulisan ini punya manfaat buat semua
Jabat erat selalu !