CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Jumat, 21 November 2008

Playmaker di Liverpool

Pada hakikatnya sepak bola adalah permainan yang rumit. Tapi sepak bola sebenarnya sebuah permainan yang penuh dengan kegembiraan. Sebuah tim, layaknya seperti sebuah mata rantai yang tak pernah terputus, rotasi posisi, baik saat menguasai bola maupun ketika bergerak tanpa bola, semuanya harus tetap menuju ke satu titik fokus, tanpa pernah kehilangan konsentrasi, pemahaman akan posisi teman, maupun pemahaman tentang karakter teman satu tim. Bola harus terus mengalir, seperti air yang tanpa henti, seperti alunan musik yang terus menggema, dawai demi dawai terpaut, menjalin sebuah ritme yang menghanyutkan, membuai keindahan lapangan hijau. Tapi disaat yang sama kita tak boleh berhenti untuk bergerak. Kita harus mampu sebagai pelayan, tapi di sisi lain kita bisa meminta untuk dilayani. Kolektifitas dan saling pengertian yang akurat seperti itu harus dilakukan sebuah tim sepanjang 90 menit. Bukankah permainan ini menjadi demikian rumit? Tapi, walau demikian, sepak bola pada dasarnya adalah sebuah permainan yang penuh kegembiraan, karena sepak bola tak jauh berbeda dengan sebuah pagelaran orchestra, ada komando yang mampu mengatur tinggi dan rendahnya nada, ada yang bertanggung jawab untuk mampu merubah dari satu pola ke pola lainnya, tanpa pernah kehilangan ritme, ada perjuangan, ada keuletan manusia di dalamnya untuk mempertahankan integritas pribadi, memperjuangakan harkat sebuah tim, serta rasa bangga dan kehormatan. Itulah sebabnya sepak bola sampai sedemikian memesona manusia.

Memahami uraian singkat di atas, ada satu kunci yang memang menjadi titik sentral permainan, yaitu adanya seorang yang memegang kendali permainan secara cerdas. Itulah yang sering kita sebut dengan istilah “playmaker”.

Memahami sebuah tim besar seperti Liverpool, pasti kita harus mengerti rangkaian panjang perjalanan sejarah tim ini. Tulisan ini hendak mengurai secara garis besar peran playmaker dalam kedigjayaan Liverpool dimasa lalu. Banyak suara-suara dari berbagai media yang kita baca mengetengahkan tidak adanya seorang playmaker di tubuh Liverpool saat ini yang membuat perjalanan tim dengan julukan The Reds ini tersendat-sendat, bahkan selama satu dekade terakhir tim besar di Inggeris ini tak pernah lagi merengkuh gelar juara Liga Inggeris.

Mengurai awal kedigjayaan Liverpool, kita mulai dari sebuah Revolusi besar yang dilakukan oleh Bill Shankly. Bill inilah yang menjadi peletak dasar dari skema permainan menawan Liverpool sepanjang sejarah di Liga Inggeris. Hal pertama yang Bill lakukan di musim panas tahun 1961 adalah membawa Liverpool naik kembali ke divisi satu, kemudian Bill membeli dua orang pemain, yaitu seorang striker Ian St.John dan seorang central defender Ron Yeats, keduanya berasal dari Skotlandia. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dasar skema sepak bola Bill adalah adanya seorang pemain yang mampu menggalang semua pola permainan di lapangan, dan tugas ini saat itu dipikul secara sistematis oleh Ron Yeats. Jika Ron berhalangan main, maka Ian Callaghan yang mengambil alih tugas tersebut. Ron maupun Ian Callaghan memang pemain yang memiliki determinasi luar biasa. Tidak heran jika Ian St.John dan Roger Hunt sebagai duet striker saat itu tinggal menyelesaikan bola-bola matang dari Ron maupun Ian. Skema dasar dari pola yang dikembangkan oleh Bill adalah pola “pass and move”. Pola ini meninggalkan corak permainan sepak bola Inggeris “kick and rush”. Pola pass and move ini diimplementasikan dalam suatu skema yang disebut dengan “five-a-side”, dimana pergerakan pemain dan bola secara simultan memiliki lima titik penting: bek sayap kanan dan kiri berfungsi juga sebagai penyerang sayap saat menyerang dan bertahan saat tim kehilangan bola, kemudian satu titik lainnya di central defender, titik lainnya di posisi striker, yang keempat titik ini diolah dan dikreasikan secara simultan oleh seorang pemain jangkar di tengah lapangan, dialah sang “playmaker”. Dari perkembangan selanjutnya, peran playmaker ini sangat vital. Selama satu dekade tahun 60-an itu Liverpool telah membuktikan bahwa peran playmaker merupakan peran yang besar yang menterjemahkan skema permainan di lapangan. Hal ini memang didasari oleh metode yang dikembangkan oleh Bill yang sangat membutuhkan seorang pemain yang mampu menjadi dirigent. Pola pass and move yang disinergikan dalam bentuk five-a-side tersebut harus dijalankan dengan komando seorang playmaker. Revolusi Bill ini sangat berhasil, dan itulah sebabnya Liverpool menjadi sangat terkenal sebagai tim pertama di daratan Inggeris yang berani meninggalkan pola Kick and Rush yang terkesan membosankan itu. Dalam pola kick and rush memang peran playmaker sangat kecil, karena system dimana bola dari lini pertahanan langsung mengarah ke depan dimana striker telah menunggu, di sisi lain, dengan pola yang demikian sangat diharapkan terjadinya suatu scrimmage di depan gawang lawan. Sehingga barisan gelandang hanya sangat berfungsi menjadi barisan pertama menghempang serangan lawan. Di pola yang dikembangkan Bill tersebut, dapat pula digambarkan adanya seorang creator yang mampu mengolah bola lebih lama, dan sedapat mungkin untuk tidak terlalu cepat kehilangan bola.

Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Bill pensiun tahun 1974, datanglah sebagai pengganti si legenda lainnya dari Anfield yaitu Bob Paisley. Bob ini juga tetap mempertahankan doktrin pass and move milik Bill, bahkan ditangan Bob, Liverpool sangat jauh melesat di Liga Inggeris maupun Eropa. Hal ini juga karena kelebihan Bob sebagai manajer yang memiliki kecerdasan luar biasa dalam me-manage pemain, baik di dalam maupun di luar lapangan. Bahkan Bob mampu menjadi seorang motivator yang jenius saat menemani para pemainnya yang sedang dalam perawatan saat cedera. Pada era Bob ini yang jadi playmaker adalah King Kevin Keegan, dan barang tentu kita tahu semua siapa orang ini. Saat Keegan pindah ke Hamburg di Bundesliga, yang memikul tugas playmaker di lapangan tengah Liverpool adalah King Kenny Dalglish. Di komunitas fans Liverpool, Keegan dan Dalglish memang diasosiasikan sebagai raja atau ‘King’ . Talenta lain yang menghiasi lapangan tengah Liverpool masa itu adalah Souness, Alan Hansen, Terry Mc Dermott, dan lain-lain. Skema Bob waktu itu adalah Neal di kanan, Kennedy di kiri, Alan Hansen central defender, dan Rush di depan, dan Dalglish yang jadi dirigent dari orchestra ini. Dalam kenyataannya memang pola yang dikembangkan Bill dan Bob ini sangat membutuhkan pemain bertalenta tinggi. Masa itu Liverpool bisa memenuhi persyaratan yang demikian, secara regenerasi pemain yang keluar dan masuk semua memiliki kualitas yang mampu menterjemahkan skema pass and move tersebut.

Bahkan ketika Bob juga pensiun, Joe Fagan yang memegang Liverpool tahun 1983-1985 dan juga Kenny Dalglish sebagai pengganti untuk waktu selanjutnya tahun 1985-1991 -yang juga merangkap sebagai pemain waktu itu- tetap mampu menguraikan doktrin tersebut, dan sepertinya saat itu Liverpool tak pernah kehabisan pemain yang bertalenta bagus.

Kalau kita runut sejarah dari Revolusi Bill tahun 1959 dan kemudian Liverpool masuk divisi satu tahun 1961 sampai ketika King Kenny mengakhiri masa jabatannya tahun 1991, Liverpool selama tiga dekade itu mampu merajai Liga Inggeris dan Eropa dengan prestasi yang sangat menakjubkan. Dan dari setiap kepemimpinan yang kita kemukakan di atas tadi, selalu saja ada peran besar pemain yang mampu menjadi “leader” sekaligus pemegang kendali permainan secara menyeluruh, sehingga pola menyerang dan bertahan sama bagusnya.

Kenyataan sejarah yang dikemukakan di atas dapat memberikan gambaran kepada kita, bahwa pada hakikatnya walaupun permainan sepak bola itu berkembang dan terjadi perubahan pola dan gaya, namun jika Liverpool masih menerapkan pola pass and move dengan mensinergikan metode five-a-side, maka pola itu masih bisa mengimbangi tim-tim lain saat ini, Liverpool akan tetap memiliki kekuatan yang sulit diimbangi tim lain. Namun hal tersebut juga membutuhkan adanya seorang playmaker.

Sejak Dalglish mundur sebagai pemain yang merangkap sebagai manajer tahun 1991, Graeme Souness yang merupakan pemain produk dari Bob Paisley, duduk sebagai manajer menggantikan Dalglish. Tapi The Reds ternyata tak lagi mampu meneruskan sejarah kedigjayaannya. Materi pemain yang masih dihuni Peter Berdsley dan John Barnes kurang mampu mendukung pola yang telah sekian lama dianut para legenda Liverpool. Souness hanya bertahan sampai tahun 1994, dan setelah mundur datanglah Roy Evans, tapi juga gagal membawa The Reds berdiri sejajar dengan Manchester United dan Arsenal yang mulai menguasai Liga Primer Inggeris. Sampai akhirnya muncul manajer yang waktu itu sempat menghebohkan Anfield, karena Gerard Houllier yang ditunjuk menjadi Manajer justru bukanlah produk Liverpool. Liverpool dalam hal ini juga merubah sejarah perjalanannya sendiri dalam hal penunjukan manajer.

Gerard Houllier sebenarnya bukanlah pelatih kelas kacangan, frenchman ini memiliki kecerdasan yang sangat baik, namun ada hal yang diterapkan olehnya, yaitu dalam sebuah tim -menurutnya- kita tidak boleh tergantung pada seseorang. Playmaker tidak dibutuhkan dalam tim saya, demikian ujarnya dalam suatu kesempatan.

Perjalanan tim Anfield ini pun tersendat-sendat, bahkan sulit dibayangkan tim sebesar Liverpool hanya untuk masuk 4 besar di Liga Primer Inggeris pun sepertinya sangat sulit. Komposisi pemain yang dimiliki Houllier sebenarnya sangat bagus. Pemain cemerlang seperti Owen, Hamman, Heskey, Steven Gerard, dan terakhir hadirnya Kewell, ternyata juga tidak mampu mengangkat Liverpool kembali ke jalur juara.
Houllier memang mengingkari sejarah perjalanan Liverpool. Puluhan tahun kiprah Liverpool di Liga Inggeris selalu melahirkan pemain-pemain besar di daratan Inggeris, terutama pemain-pemain yang mampu menjadi roh, menjadi jiwa dari permainan tim. Playmaker yang cemerlang telah banyak lahir dari rahim Liverpool, tapi saat ini organisasi permainan tim sangat mudah terbaca.

Talenta besar yang dimiliki Owen hanya dibentuk Houllier sebagai pemain yang mengandalkan sprint dengan bola-bola diagonal yang dirancang oleh Steven Gerard dari lapangan tengah. Namun pola ini akhirnya mudah terbaca oleh tim lain, itu sebabnya kemampuan Owen mencetak gol mulai menurun drastis. Padahal Owen merupakan penyerang yang memiliki kemampuan yang cukup lengkap. Kecepatannya merupakan yang terbaik di Inggeris. Hanya Giggs dari MU yang mampu mengimbangi kecepatan pemain ini. Dribel bolanya baik sekali, serta pemain bertubuh agak kecil untuk ukuran orang eropa ini berani melakukan body charge. Sungguh ulet sebenarnya pemain ini.

Ironi yang terjadi pada Gerard Houllier pernah terjadi pada tahun 2001. Saat itu Gary Mc Allister yang bermain hanya semusim di Liverpool justru mampu menempatkan dirinya menjadi seorang playmaker, walau usia pemain yang akrab dipanggil “macca” ini sudah melebihi 35 tahun waktu itu tapi justru mampu menghadirkan prestasi bagus.

Walaupun Liverpool belum bisa meraih juara Liga Inggeris, tapi paling tidak prestasi menjuarai Piala Liga, Piala FA, dan Piala UEFA, Charity Shield, merupakan perolehan yang luar biasa, mengingat selama satu dekade Liverpool seperti tertidur pulas. Memang prestasi itu bukan semata peran Macca, tapi dengan adanya peran playmaker, tim ini mampu meramu pola pass and move milik Bill.

Satu musim terakhir Houllier pada akhirnya juga melakukan perubahan mendasar. Bisa jadi hal ini disebabkan adanya kritik dan umpatan dari para fans Liverpool di seluruh dunia. Perubahan itu adalah diberikannya kebebasan kepada Steven Gerard untuk menjelajahi semua sisi lapangan. Gerard menjadi roh permainan, gaya mainnya yang sangat elegan, membuat Gerard sangat menikmati peran besarnya ini, bahkan kini dia menjadi kapten tim. Gerard menterjemahkan peran seorang playmaker, dia petarung sejati. Tendangan kaki kanannya amat keras, umpan panjangnya yang sangat terukur membuat Gerard menjadi pemain terbaik di Inggeris dengan umpan terukur dari jarak 20 meter.

Dalam dua musim terakhir ketika Houllier menyerahkan kursi manager kepada Rafael Benitez, peran Steven Gerard semakin menakjubkan, lapangan tengah Liverpool menjelma menjadi salah satu yang terbaik di EPL. Formasi lima sudut posisi dimainkan dengan baik sekali oleh para pemain The Reds, central lini belakang oleh Carragher, sayap kanan oleh Garcia, sayap kiri oleh Riise/Kewell, striker oleh Baros (musim 2004/2005) maupun oleh Crouch di musim ini. Lingkaran ini dikomandoi oleh dirigent paling fenomenal saat ini yaitu Steven Gerard, semua titik permainan disetiap sudut lapangan menjadi aliran air yang tanpa pernah putus mengalir, yang dengan elegan diatur sedemikian rupa oleh Steven Gerard. Ditangan Rafa, Gerard memang benar-benar menjelma menjadi Dalglish dimasa Bob Paisley, atau Ian Callaghan dimasa Bill Shankly.
Adakah semua lintasan sejarah ini menjadi mata rantai yang tersambung? saya tidak berani menjawabnya, namun kenyataannya, apa yang pernah terlahir dari ide revolusinya Bill Shankly dan Bob Paisley, kini muncul kembali dalam kemasan yang lebih manis, lebih passion, dan tentunya lebih bergairah. Dalam keheningan disudut Anfield, bisa jadi, Rafael Benitez belajar tentang Bill dan Bob, sebuah pelajaran yang tak pernah difahami oleh seorang Houllier. Entahlah..!

Semoga tulisan ini punya manfaat buat semua
Jabat erat selalu !